.

time is waktu



absen dl ah

About Me

biar kecil tetaplah bersinar dengan indah

Kamis, 27 Mei 2010

Vespa Syeh Jangkung

SM Cetak - Wacana
24 Agustus 2009
Oleh Rif'an Zaenal Ehwan
Anda mungkin bertanya-tanya mengapa tulisan ini diberi judul Vespa Syeh Jangkung. Tanpa bermaksud mengada-ada, kata-kata ini penulis dapatkan ketika berziarah ke makam Syeh Jangkung di Desa Landoh, Kecamatan Kayen, Pati beberapa hari lalu.

Mas, itu vespa mbah jangkung? Demikian tanya seorang adik kecil, peserta rombongan yang turut bersama kami. Ternyata sedari tadi dia memperhatikan koleksi Museum Syekh Jangkung yang berada tepat di sisi makam.



Saya sempat penasaran, benarkah zaman Syeh Jangkung sudah ada vespa? Ternyata pertanyaan polos anak kecil itu bermula dari ulah pengelola museum yang memasukkan vespa kuno sebagai salah satu koleksi museum.

Pertanyaan polos anak kecil tersebut sederhana, namun akan terasa menyentil telinga bila kita dalami. Bagaimana tidak, Syeh jangkung yang hidup pada masa Walisongo.

Tepatnya zaman Sunan Kudus. Beliau juga sempat nyantri di sana pada abad ke-15 atau sekitar tahun 1.500 M. Tepatnya sebelum tahun 1.550 M karena pada tahun tersebut diperkirakan Kanjeng Sunan Kudus wafat.

Sementara itu, Vespa pertama dibuat tahun 1884 oleh Rinaldo Piaggio dengan nama Piaggio. Secara logis, tentu saja kehadiran vespa yang usianya jauh lebih muda dari zaman Walisongo tentu kurang tepat dijadikan salah satu koleksi Museum.

Niat baik pengelola museum mungkin sekadar ingin memperbanyak koleksi museum supaya lebih kaya dan terlihat ramai. Namun, hendaknya kehadiran vespa juga sepeda ontel ini ditiadakan saja karena akan merusak khidmat ‘’wisata sejarah’’ Syeh Jangkung sendiri.

Akan lebih bijaksana jika koleksi museum hanya terdiri benda-benda yang berkaitan langsung dengan masa itu dan ada sangkut pautnya dengan kehidupan Syeh Jangkung.

Selain kedua koleksi tersebut, museum yang masih tergolong masih hijau ini juga memajang keris kuno, alat-alat pertanian seperti sabit, cangkul, dan caping. Ada juga rangka kepala kerbau yang dikenal dengan nama Kebo Landhoh. Selanjutnya, museum ini juga memajang replika buah kelapa sepasang, buah durian dan daun jati.

Bagi masyarakat yang mengidolakan Syeh jangkung dan mengerti sejarah kehidupannya pasti langsung mengerti ihwal pemasangan koleksi tersebut.

Namun, bagi yang awam dengan sejarah sosok wali yang terkenal banyak memberikan nama berbagai tempat di daerah Pati, Kudus, dan sekitarnya ini niscaya bertanya-tanya mengapa koleksi museum diisi dengan hasil pertanian beserta peralatan bercocok tanam? Tidak adakah koleksi lain yang lebih pantas?
Butuh identitas Seyogianya koleksi museum ini membutuhkan identitas masing-masing supaya tidak kehilangan makna. Satu persatu koleksi museum ini diberi nama dan ihwal apa yang menarik dari benda-benda tersebut. Pemberian masing-masing identitas ini akan melengkapi makna wisata sejarah itu sendiri sebagaimana diharapkan pengelola museum.

Durian misalnya. Pada sebagian orang, simbol durian ini mungkin dimaknai sebagai sebuah komoditas pertanian yang menandakan bahwa daerah tersebut sentra durian.

Namun, pemaknaan tersebut kurang tepat karena berkat buah durian tersebutlah kisah Saridin menjadi seorang wali berawal.
Jika malam tiba tak satu pun buah durian jatuh.

Akhirnya Branjung menyamar menjadi macan supaya bisa ikut menikamati buah durian tersebut.

Sayang, ketika hendak menikmati buah durian ”sang macan” tertangkap basah oleh Saridin dan dengan sigapnya langsung ditusuk dengan tombak hingga tewas. Inilah awal mula Saridin harus menjadi buronan pihak Kadipaten Pati karena dianggap tersangkut tindakan melanggar hukum.

Saridin sendiri tidak merasa berbuat salah karena yang dibunuh adalah macan bukan Branjung, kakaknya. Pelarian Saridin karena kasus durian dan macan inilah yang akhirnya membawa Saridin menemukan jati dirinya.

Demikian pula dengan sepasang buah kelapa dan daun jati juga memiliki sejarah unik.

Buah kelapa ini pernah dipakai Syekh Jangkung menyeberangi lautan menuju Sumatera menemui Raja Sumatera. Selain itu, alat transportasi yang tidak lazim ini pernah pula dipakai ke kerajaan Ngerum dan Kerajaan Cirebon untuk misi diplomasi dan dakwah.

Koleksi museum lainnya yang tak kalah istimewa adalah Kerbau Dhungkul Landhoh (kerbau besar dan bertanduk melengkung kebawah). Kerbau ini dahulu pernah mati namun berkat ucapan Syeh Jangkung dan atas Izin Allah, kerbau tersebut bisa hidup kembali.
Gagasan Cemerlang Terlepas dari tepat tidaknya pemilihan koleksi museum Syekh Jangkung, sesungguhnya pendirian Museum Syeh Jangkung di sebelah makam adalah sebuah gagasan cemerlang.

Pihak pengelola kompleks makam juga sepertinya tidak main-main dalam merenovasi berbagai prasarana supaya kenyamanan pengunjung yang akan berziarah terjamin.

Sejak menginjakkan kaki memasuki kompleks makam, kita akan disambut dengan sebuah pendapa atau lazim disebut ”cungkup” di halaman makam. Pendapa tersebut terlihat istimewa karena nuansa klasik berhasil dihadirkan secara sempurna oleh pengelola.

Ornamen bambu raksasa yang dibiarkan alami dengan cabangnya dibiarkan utuh dan kupasan kulit yang tidak rata sempat menipu pengunjung, benarkah ini batang bambu asli?

Gagasan cemerlang pendirian dari museum syeh jangkung patut kita apresiasi positif dan kita acungi jempol. (80)

—Rif’an Zaenal Ehwan, guru SMA Negeri 1 Jakenan, tinggal di Pati

0 komentar

Posting Komentar