.

time is waktu



absen dl ah

About Me

biar kecil tetaplah bersinar dengan indah

Kamis, 27 Mei 2010

Dilema Kelulusan 100%


SAAT ini kelulusan 100% masih menjadi target setiap sekolah. Sekolah bangga luar biasa jika mampu membuat semua siswa lulus ujian. Walhasil, sekolah pun berlomba-lomba memberikan tambahan pelajaran (les) lebih banyak sejak dini.

Bukan hanya pada siswa kelas akhir, melainkan juga kelas di bawahnya. Dengan harapan, dapat mempertahankan kelulusan 100% setiap tahun.

Padahal, jam pelajaran di sekolah, baik untuk pelajaran aktif maupun ekstrakurikuler, sangat terbatas. Jika seminggu siswa harus mengikuti pelajaran tambahan tiga-empat hari, otomatis jam ektrakurikuler terpangkas habis.


Tambahan pelajaran, baik bagi siswa kelas akhir maupun di bawahnya, tidaklah keliru asal porsinya tepat. Seyogianya sekolah tak hanya fokus pada hasil ujian nasional. Namun perlu pula memikirkan masa depan peserta didik ketika kembali ke masyarakat.

Sekolah perlu memberi ruang gerak supaya bakat dan minat mereka tersalur secara sempurna. Sekolah perlu memacu kegiatan ekstrakurikuler seperti olahraga, keterampilan, jurnalistik, seni budaya, dan agama.

Lebih pentingkah kegiatan ekstrakurikuler ketimbang ujian nasional? Bukankah orang tua dan sekolah menghendaki siswa lulus 100%?
Pendapat itu cukup beralasan, tetapi kurang bijak. Meski setiap orang tua mengharapkan sang anak lulus, bukan berarti cukup berhenti pada kelulusan tanpa keahlian di bidang tertentu.

Jika seorang siswa lulus ujian berarti baru mencapai kompetensi rata-rata. Asumsinya, jika sekolah favorit bisa mencapai kelulusan 100%, sekolah “pinggiran” pun bisa mencapai. Jadi sesungguhnya tak ada yang istimewa dari kelulusan 100%.

Lain jika suatu sekolah berhasil meluluskan siswa plus satu keahlian khusus. Maka sempurnalah sekolah menjalankan amanat yang diemban. Karena, keahlian yang dimiliki siswa bisa menjadi bekal untuk menghindarkan diri dari pengangguran.

Beberapa sekolah memang memfokuskan diri pada ujian nasional. Itu tak bisa disalahkan dan itu sebuah pilihan. Selain sebagai tolok ukur keberhasilan proses pembelajaran, kelulusan 100% juga menjadi modal promosi dan nilai jual sekolah di mata publik. Bahkan sebagian orang tua menyekolahkan anak ke sekolah tertentu karena ada “jaminan” lulus.

Perspektif orang tua dan sekolah yang mengutamakan kelulusan 100% bisa dipahami. Orang tua bangga jika anak lulus. Sekolah gembira karena peminat masuk sekolah itu meningkat.

Namun dari perspektif siswa tampaknya hal itu tidak adil. Mereka ingin juga menikmati masa ketika kreativitas mendapatkan ruang dan waktu yang cukup hingga pada saatnya kelak mereka akan kembali fokus pada kelulusan.

Dilihat dari kacamata pemerintah, kelulusan 100% sejatinya bukan harga mati. Esensi yang diharapkan adalah hasil ujian nasional benar-benar menggambarkan detail wajah pendidikan kita. Sisi mana yang harus diperbaiki dan sisi mana yang harus ditingkatkan.

Bukankah pemerintah tak sesadis yang kita bayangkan? Pemerintah tetap mengulurkan kedua tangan sekaligus. Satu tangan bernama ujian nasional, tangan lain siap menolong siswa yang tak beruntung dengan ujian nasional susulan. Jadi, tak perlu karena “hantu” ujian nasional, pemberian bekal keterampilan siswa terpinggirkan.(53)

- Rif’an Zaenal Ehwan, guru SMA Negeri 1 Jakenan, Pati

0 komentar

Posting Komentar